Nasofaring Kuatkan Cinta Dan KesetiaanKu
By : Riz Jackoo
(@ks_rizcha)
Sang raja siang semakin menguasai bumi dengan sinarnya, namun itu
tidak merusak hari paling membahagiakan bagi ku sekarang. Aku seorang gadis
yang akrab disapa Puspa kini telah resmi menjadi isteri dari seorang laki-laki
bernama Rafael. Memang pesta pernikahan kami tidak terlalu mewah tetapi tetap
saja peristiwa hari ini akan menjadi peristiwa paling indah dan berkesan yang tak
akan pernah terlupakan oleh ku.
Beberapa tahun kini telah berlalu kebahagiaanku semakin lengkap saja
karena ku telah dikaruniai anak. Karirkupun semakin membaik, saat ini ku telah
menjadi seorang guru di sebuah Sekolah menengah Atas yang cukup ternama.
Waktu sudah menunjukan tepat pukul 14 : 00 Waktu untuk daerah
Banjarmasin dan sekitarnya, itu pertanda bahwa tugasku untuk mengajar anak
didikku telah berakhir dan ini waktunya untuk aku kembali pulang ke rumah. Sesampainya
di rumah ku disambut suami tercintaku dengan filek dan bersin-bersin
“ya ampun papah filek sama bersinnya ko udah berhari-hari gak sembuh juga sih
?” Tanya ku panik
“Iya nih ha. . . ha. . . hasssyimmmmm akhir-akhir ini kepala papah juga pusing
terus ha. . . hasyimmmmmm” Jawab Rafael sambil terbersin-bersin sampai
mengeluarkan cairan sangat kental berwarna putih dari hidungnya.
Wajahkupun semakin panik saja melihat keadaan Rafael saat ini,
sepertinya Rafael menyadari tentang kepanikan yang tergambar di wajahku
sehingga dia berkata
“Mamah gak usah khawatir hasyimmmmm ini palingan cuman flu biasa aja ha. . .
ha. . . hasyimmmmmm minum obat yang dijual di warungan juga udah sembuh”
“Ya sudah biar mamah beliin obatnya dulu” Jawabku seraya pergi ke sebuah warung
di dekat rumahku untuk membeli obat yang biasa diminum suamiku.
Seminggu sudah berlalu pusing, filek, serta bersin yang diderita
Rafael masih saja berkelanjutan bahkan tadi kulihat Rafael bersin sampai
mengeluarkan darah dari hidungnya. Tentu saja hal ini membuatku semakin
khawatir, akupun berinisiatif untuk mengajak Rafael periksa ke dokter yang ada
di Rumah Sakit Umum Banjarbaru.
Beberapa hari setelah periksa keadaan Rafael terlihat semakin parah
saja, pada lehernya terjadi pembengkakan setiap satu minggunya semakin membesar
dan membesar saja bengkak itu. Saat Rafael kembali ku bawa periksa hanya satu
saran dokter yaitu dengan jalan operasi.
Penyakit yang diderita Rafael semakin hari sepertinya semakin parah
saja, bahkan kini penyakit itu telah menular pada mata sebelah kanan Rafael.
Kornea mata Rafaelpun sudah tidak bisa digerakan lagi seperti orang normal, pandangan
penglihatanya pada sebuah bendapun akan menjadi terlihat dua.
Aku paham betul dengan keadaan kornea mata Rafael yang tidak
berfungsi secara baik ini akan berefek kepada semakin pusing pada kepalanya,
maka mata sebelah kanan Rafaelpun ditutup dengan perban.
Satu bulan kemudian akupun segera membawa Rafael ke dokter ahli
mata yang berada di kota Banjarmasin, setelah dokter melihat keadaan mata
Rafael. Dokterpun mengatakan bahwa sebenarnya penyakit yang diderita Rafael
bukanlah penyakit mata melainkan hanya akibat dari penyakit yang diderita
Rafael saat ini sehingga dokter ahli mata tidak dapat menyembuhkannya.
Dokter ahli mata yang ku temui menyuruhku untuk membawa Rafael ke
dokter THT (Telinga Hidung Tenggorokan). Malam itu juga aku segera melunncur membawa
Rafael menuju kimiafarma Banjarbaru, akupun bertemu dengan seorang dokter yang
berusia cukup tua bernama dokter Jackoo.
Akupun membayar sejumlah uang dan konsultasi dengan dokter Jackoo,
setelah memeriksa kondisi hidung Rafael menggunakan alatnya dokter Jackoo
menyarankan untuk Rafael operasi kecil yaitu pengangkatan jaraingan lunak
hidung. Ku lihat di luar ruangan dokter Jackoo terlihat banyak orang yang
menunggu. Ku memahami itu karena dokter Jackoo adalah dokter praktek.
Akhirnya operasi kecil tersebut
langsung dilaksanakan malam itu juga, untuk mengantisipasi pendarahan yang
keluar dari hidung Rafael dokter Jackoopun memasang tanpon. Setelah ku keluar
dari ruangan tersebut akupun langsung membayar Rp 2.000.000,- untuk biayanya
“Ibu boleh kembali lagi ke sini setelah satu minggu untuk mengetahui hasil
pemeriksaan dari penyakit yang diidap suami ibu” Ucap dokter Jackoo pasti
“Baik dok terimakasih sebelumnya” Jawabku langsung membawa pulang Rafael.
Karena ku mengetahui jika tanpon di hidung Rafael dilepas maka pendarahan di
hidung Rafael akan terjadi, maka selama berada di rumah tanpon itu tidak pernah
dilepas.
Setelah satu minggu kemudian aku
bersama Rafael kembali ke tempat praktek dokter Jackoo ternyata hasil pemeriksaan
dari penyakit Rafael adalah ada jaringan penyakit kanker yang terdeteksi, dan
cara pengobatannya adalah dengan disuntik
“Biaya untuk satu kali suntik berapa dok ?” Tanyaku
“Tiga Juta Rupiah bu per suntiknya” Jawab dokter Jackoo
“Berapa kali suntikan yah agar suami ini saya bisa sembuh ?” Untuk kedua kalinya
aku bertanya, batinku berharap agar satu kali suntikan Rafael sudah bisa
sembuh. Karena ku menyadari gajiku sebagai guru tak akan bisa mencukupi untuk
suntikan relatif banyak
“Ma’af bu, untuk banyaknya suntikan saya tidak bisa menentukan berapa kali” Jawab
dokter Jackoo
“Kalo anda perkirakan sebagai berapa kali ?” Ku mendesak dokter morgan dengan
pertanyaan ku
“Kira-kira sih lima kali lebih bu” Jawab dokter Jackoo
“Bagaimana bu ?, apa ibu berminat ?, kalau ibu berminat saya bersedia menjemput
ibu untuk mengantar ke rumah sakit Paramita” Sambung dokter Jackoo memberikan
penawaraan sembari menyebut salah satu nama Rumah Sakit Umum.
Mengingat besarnya biaya yang
akan ku keluarkan untuk suntikan tersebut akupun berpikir panjang dan
berdiskusi dengan semua keluargaku beserta keluarga Rafael. Akhirnya satu
keputusanpun jadi kesepakatan yaitu aku akan menggunakan kartu jaminan
kesehatan berupa kartu ASKES untuk membiayai pengobatan Rafael.
Karena menggunakan kartu ASKES
ini aku harus mendapat surat rujukan ke Rumah Sakit Ulin yang terletak di kota
Banjarmasin. Selagi dalam proses pengurusan surat rujukan ke Rumah Sakit Ulin
tampon yang berda di hidung Rafael dilepas, spontan hal ini membuatku ketakutan
karena dengan otomatis tanpon itu tidak dapat menahan pendarahan di hidung
Rafael. Saat Rafael bersin langsunglah darah segar muncrat dari hidung Rafael.
Darah segar itu terus menerus
mengucur dari hidung Rafael melebihi dari orang yang mimisan karena darah itu
mengucur dengan cukup deras, akupun berusaha menampung darah segar itu
menggunakan sebuah baskom ukuran canggung. Setiap kali baskom itu penuh dengan
darah segar yang mengalir dari hidung Rafael darah itu ku buang ke bawah
jendela rumahku. Darah itu tetap saja mengucur tiada henti dari hidung Rafael.
Akupun semakin panik saja
melihat setiap darah yang menucur cukup deras dari hidung Rafael, dalam keadaan
panik inipun aku segera menghubungi adik-adik dan kakak ku. Sialnya mereka
tidak ada satupun yang mau mengangkat telepon dariku, akupun semakin panik saja
melihat keadaan suamiku yang terus menerus mengeluarkan darah dari hidungnya.
Akup jadi lebih aku benar-benar
takut kehilangan Rafael karena logikanya setiap orang yang banyak kehilangan
darah pasti akan merenggang nyawa. Air mataku perlahan mulai menetes karena
saat ini aku hanya berdua dengan Rafael saja di rumah, tetap saja semua
adik-adik dan kakak-kakak ku tidak ada yang mengangkat teleponku. Sementara cuaca
saat ini diluar rumahku sedang gerimis.
Akhirnya aku memutuskan untuk
menelepon keponakan ku dan alhamdullillah dia mengangkat teleponku, dengan
cepat ku ceritakan semua tentang keadaan Rafael. Setelah mendengar semua
ceritaku tentang keadaan Rafael dengan secepat kilat keponakanku segera datang
ke rumahku dengan mobilnya.
Dalam perjalanan menuju Rumah
Sakit terdekat yaitu Rumah Sakit Martapura darah segar dari hidung Rafael terus
saja mengucur, aku hanya bisa menguatkan hati untuk menampung darah itu ke
dalam baskom. Setiap kali baskom penuh dengan darah ku buang darah itu ke
jalanan yang cukup sepi, begitu terus berulang-ulang hingga kami sampai di
Rumah Sakit yang dituju
“Mba suaminya abis kecelakaan dimana darahnya sampe banyak banget kaya gitu ?”
Tanya seseorang yang melihat keadaan Rafael
“Ma’af mba suami saya bukan abis tabrakan” Jawabku memperlihatkan senyum lebar
di bibir
“Oh ma’af mba” Jawab orang itu tersipu malu sembari meninggalkanku.
Dengan menggunakan kartu ASKES
itu Rafaelpun langsung ditangi oleh dokter jaga, kembali hidung Rafael ditanpon
untuk menghentikan pendarahan dari hidung Rafael. sedangkan aku disuruh oleh
dokter jaga tersebut untuk menebus obat yang tertera di kertas resep.
Dokter di Rumah Sakit Martapura
tersebut mengajukan rujukan untuk Rafael ke Rumah Sakit Ulin, dengan mobil
ambulance sore itu juga Rafael langsung dilarikan ke Rumah Sakit Ulin.
Sementara keponakanku mengiringi menggunakan mobilnya dari belakang, dalam
perjalanan menuju Rumah Sakit Ulin tanpon penahan pendarahan di hidung Rafael
kembali lepas dan tak dapat menahan darah yang mengucur dari hidung Rafael, aku
tetap memegang baskom untuk menampung darah segar tersebut.
Mobil ambulance yang kami
tumpangi sempat terjebak macet, sedangkan darah di hidung Rafael terus saja
mengucur dengan cukup deras. Tidak lama kemudian kamipun sampai di Rumah sakit
Ulin, ternyata keponakanku sudah duluan sampai. Begitu juga semua keluarga dari
pihak ku dan pihak Rafael sudah menunggu di Rumah Sakit tersebut, mungkin
karena keponakanku sudah mengabari semua
keluarga.
Mungkin karena kami membawa
surat rujukan ASKES tersebut jadi dengan cepat Rafael langsung dilarikan ke
ruang Unit Gawat Darurat (UGD) dan tangani oleh dokter, kembali lagi hidung
Rafael ditanpon hingga pendarahan di hidung Rafael berhenti. Rafaelpun sudah
mulai tenang
“Jadi begini bu, sebenarnya suami ibu ini mengalami pendarahan yang cukup banyak,
tapi syukur karena jantungnya sangat kuat jadi suami ibu dapat bertahan sampai
sekarang” Ucap dokter setelah selesai mengangani Rafael
“Alhamdullillah ya Allah” Aku memanjatkan rasa syukur dengan tulus.
Rafael akhirnya dipindahkan ke
kamar rawat. Di kamar rawat ini paseannya adalah khusus untuk orang-orang yang
menjadi pasean THT semua, kebetulan letak rumah mertuaku tidak terlalu jauh
dari Rumah Sakit Ulin maka aku tidak pulang ke rumahku. Sedangkan anak-anakku
ku titipkan dengan neneknya yang tak lain adalah ibuku.
Selama kurang lebih enam bulan
aku tidak pulang melainkan berada di Rumah Sakit untuk menemani dan menjaga
Rafael, surat keterangan yang pernah ku terima dari dokter Jackoo tidak
terpakai. Dengan sedikit terpaksa Rafael cek ulang lagi dari awal.
Rafael kembali menerima operaasi
kecil pengangkatan jaringan lunak di hidungnya, jaringaan lunak itu harus
diantar ke Surabaya untuk dicek di laboratorium. Aku dan Rafaelpun harus
menunggu hasilnya sealam tiga minggu.
Kamipun pulang, setelah tiga
minggu kemudian aku mengambil hasil laboratorium penyakit Rafael
“Ternyata pak Rafael positif mengidap penyakit kanker Nasofaring bu, yang merupakan
kanker spernafasan” Ucap dokter yang menangani Rafael memberitahukan hasil
labotoriumnya
“Cara penyembuhannya bagaimana dok ?” Tanyaku
“Begini bu, kami memberikan pilihan kepada ibu dan seluruh keluarga untuk
menjalankan kemotrapi atau tidak” Jawab dokter
“Dok apakah ada jalan lain selain kemotrapi ?” Tanyaku polos
“Tidak ada bu, memang jalan satu-satunya adalah dengan kemotrapi” Jawab dokter
“Tapi bu untuk menjaga kondisi ketenangan jiwa pak Rafael, kami tim dokter
minta tolong agar ibu jangan memberitahu pak Rafael tentang penyakit yang
dideritanya saat ini” Sambung sang dokter
“Baiklah dok, saya akan merahasiakan ini dari Rafael” Jawabku.
Dengan berjalannya terus waktu,
pada saat aku konsultasi bersama Rafael kepada dokter itu tidak ada lagi yang
ditutup-tutupi dari Rafael, semuanya dibuka di depan Rafael dan Rafael telah
menngetaahui penyakit apa yang diidapnya saat ini. Semua hasil sitiskenpun
diperlihatkan secara langsung pada Rafael.
Namun untuk memberikan semangat hidup pada
Rafael dokter mewajibkan tidak ada satu orang keluargapun yang boleh terlihat
bersedih ataupun menangis di depan Rafael termasuk aku, pokoknya kami
sekeluarga harus mengembirakan Rafael. Sungguh ini sangat menyiksa batinku
karena aku harus bersandiwara di depan Rafael, ya aku harus berpura-pura ceria
di hadapan Rafael yang menderita menahan rasa sakit akibat penyakit yang
dideritanya.
Ketika ku merasa sedih dan ingin
meneteskan air mata aku harus pergi dari hadapan Rafael, bahkan aku harus ke
luar kamar rawat Rafael untuk menumpah ruahkan air mataku. Sungguh ini benar
benar membuatku sangat merasakan hati yang teramat sakit karena ku harus
menumpah ruahkan air mataku sendiri tak ada satu orangpun yang mengetahui
kesedihanku.
Setelah ku periksakan kembali
ternyata kini kanker Rafael telah menjalar sampai ke syaraf otak Rafael,
sehingga mengganggu kepada penglihataan Rafael. Ku teringat akan tawaran dokter
tentang kemotrapi
“Dok kalau boleh tau kemotrapi itu gimana yah rasanya ?” Tanyaku polos
“Ma’af saya harus mengatakan ini, kemotrapi itu rasanya lebih sakit daripada
rasa sakit yang sekarang dirasakan oleh pak Rafael” Jawab dokter dengan jujur
apa adanya
“Apakah ada efek samping daari kemotrapi dok ?” Tanyaku lagi
“Tentu saja, yang pastinya efek baiknya kemotrapi ini akan mematikan sel-sel
kanker yang ada di dalam tubah, dan efek buruknya syaraf-syaraf, sel-sel, dan
jaringan-jaringan yang ada dalam tubuh orang yang dikemotrapi ini termasuk
jaringan gigi yang tadinya juga akan ikut mati” Dokter menjelaskan panjang
lebar
“Jika jaringan gigi mati apa yang terjadi dok ?” Ku kembali bertanya
“Maka gigi-gigi yang tumbuh satu per satu akan patah” Jawab dokter.
Awalnya Rafael tidak mau dikemotrapi,
Rafael hanya ingin pasrah saja
“Sudahlah mah papah siap dengan kematian yang akan menjemput papah akibat
penyakit ini mah” Ucap Rafael dengan tatapan mata kosong
“Tapi pah gak ada salahnya kan kita coba dulu, pasrah itu buakan jalan terbaik
pah” Protes ku
“Pikir mah toh ujung-ujungnya papah akan mati juga kan ?, lalu buat apa papah
harus menderita rasa yang lebih sakit dan mamah membuang uang yang banyak hanya
untuk kemotrapi ?” Tanya Rafael mulai dengan nada yang cukup tinggi
“Gak pah gak !, papah gak boleh ngomong gitu lagian kan kita pakai surat ASKES
juga” Aku bersi keras
“Papah bilang gak mau ya ga mau ! serahkan saja semuanya pada tuhan yang maha
segalanya !” Jawab Rafael lebih bersi keras dariku.
Aku hanya bisa terdiam
menghadapi kekerasan hati suami tercintaku ini, keadaan Rafael ini tentu saja
membuat dirinya sendiri drop. Tubuh Rafaelpun kini semakin mengurus saja, semua
keluargaku termasuk aku tetap saja tidak ada yang dapat membujuk Rafael untuk
melaksanakan kemotrapi.
Karena Rafael tidak mau
kemotrapi aku berusaha mencari pengobatan alternatif. Hampir semua di daerah
Kalimantan Selatan ku datangi hanya untuk mencaari pengobatan alternatif untuk
Rafael. Tapi tetap saja hasilnya nihil, Rafael tak kunjung sembuh juga. Tak
pernahku mengeluh lelah menemani dan merawat Rafael, gagalnya pengobatan
Alternatif membuatku sedikit putus asa dan nyaris menyerah. Akhirnya aku
berinisiatif membawa Rafael ke rumah orangtuanya, setelah satu minggu menginap
di rumah orangtua Rafael dan mendapat bujukan dan di berikan semangat oleh
seluruh keluarganya akhirnya Rafael mau dikemotrapi.
Sebelum Rafael kemotrapi dan untuk
menghindari pembusukan yang terjadi pada gigi Rafael maka Rafael harus periksa
gigi dahulu, setelah diperiksa ada empat gigi Rafael yang diperkirakan akan
mati jaringannya maka keempat gigi itu harus dicabut terlebih dahulu.
Hari ini Rafael mulai menjalani
kemotrapinya yang pertama kali, seandaainya saja aku menggunakan uang ku
sendiri mungkin saja biaya yang ku keluarkan sangatlah banyak karena harga obat
kemotrapi itu paling murah adalah Rp 1.500.000,- per butirnya walaupun
bentuknya saangatlah kecil. Tapi aku merasa sangat bersyukur karena aku
menggunakan kartu jaminan kesehatan berupa kartu ASKES jadi semuanya gratis
tidak ada bayar apapun.
Enam kali sudah Rafael menjalani
kemotrapi, jarak antar kemotrapi itu adalah tiga minggu sekali, efek buruk dari
kemotrapipun mulai dirasakan oleh Rafael. Jaringan-jaringan di tubuhnyapun
mulai mati termasuk jaringan prasa dilidahnya. Kini Rafael tidak dapat
merasakan apapun.
Rafaelpun tidak mau makan
apa-apa, Makanan dan minuman Rafael hanyalah susu saja layaknya seorang bayi.
Susu itupun disediakan oleh pihak Rumah Sakit.
“Tenang bu masih ada dua kali kemotrapi saja” Ucap dokter yang memeriksa
keadaan Rafael
“Iya dok terimakasih” Jawab ku.
Dokter yang menangani Rafael
aadalah dokter cantik yang cukup muda dan baik hati serta ramah terhadap
paseannya, bahkan dokter ini hafal nama semua paseannya. Setiap kali dia
meriksa paseannya pasti disapanya dengan lembut, begitu juga perlakuannya
terhadap Rafael. Di Rumah Sakit ini memang ada empat dokter spesialis kanker,
tapi hanya dua orang dokter baik dan ramah saja yang disenangi Rafael. Pokoknya
Rafael tak mau diperiksa selain dokter cantik yang baik dan ramah itu atau
dokter baik dan ramah yang satunya lagi. Namun tak ada sedikitpun rasa cemburu
di hatiku terhadap dokter cantik itu karena aku yakin dokter cantik itu
orangnya memang benar-benar tulus.
Untung saja rumah mertuaku dekat
dengan Rumah Sakit sehingga tidak sulit untukku pulang sesaat ke rumah
mertuaku, karena pada saat kemotrapi ke tiga Rafael sudah bisa berjalan lagi
maka setiap kali ku menemani Rafael menjalankan kemotrapi kami pulang pergi
dari Rumah Sakit ke rumah mertuaku, waktu kemotrapipun terkaadang tidak teratur
bahkan pernah ku menemani Rafael kemotrapi sampai jam 24 : 00 Waktu untuk daerah
Banjarmasin dan sekitarnya.
Kemotrapi selanjutnya memberikan
dampak lebih besar lagi, ku lihat Rafael sepertinya tidak tahan. Karena setiap
kali selesai kemotrapi tubuh Rafael drop sampai tidak bisa bangun, badannya
semakin kurus saja.
Aku sudah terbiasa bolak balik
Rumah Sakit sampai-sampai warung yang berada di dekat Rumah Sakit itu mengenal
baik siapa aku, karena menjadi langganan aku maka setiap pagi dan sore.
Saat ku membelai rambut Rafael
rambut itu rontok, semakin hari semakin banyak saja rambut Rafael yang rontok.
Dan akhirnya rambut Rafaelpun habis lalu gundul. Selain efek kemotrapi ada juga
efek dari penyinaran, yang menyebabkan wajah Rafael menjadi warna hitam pekat tapi
sebelum disinar diberi salep dulu sehingga efek ini tidak terlalu berpengaruh.
Akan tetapi ku mulai kembali
bersyukur karena kedaan Rafael berangsur-angsur membaik, mata Rafaelpun jadi
normal kembali rambut Rafaelpun kemabali tumbuh lagi bahkan lebih hitam dari
sebelumnya.
Setelah itu aku dan Rafael tidak
pernah datang lagi ke Rumah Sakit, sebenarnya harus ada satu tes lagi yang
harus kami lihat. Namun karena ketakutan hatiku dan hati Rafael akan gagalnya
kemotrapi yang dijalani Rafael dan Rafael harus kembali menjalani kemotrapi
maka kami memutuskan untuk tidak melihat hasil tes terakhir itu.
Sesungguhnya ku mengalami dilema
yang cukup besar karena di satu sisi hatiku takut melihat hasil tes akhir
Rafael itu dan di sisi lain hatiku penasaran ingin melihat tes akhir tentang
penyakit Rafael itu. Beberapa hari kemudian untuk menjawab rasa penasaranku
terhadap hasil tes tersebut akupun memutuskan untuk melihat dan mengambilnya.
Rasa syukur yang sangat besaar
ku paanjatkan karena ternyata hasilnya adalah Rafael dinyatakan bersih dari sel
kanker
“Bu Puspa ini adalah kanker yang pernah bersarang di tubuh pak Rafael” Ucap
dokter memperlihatkan sebuah benda asing dalam botol padaku
“Lalu kenapa dok ?” Tanyaku bingung
“Apakah ibu ingin membawanya pulang ?” Tanya sang dokter
“Gak ! aku gak mau, aku gak mau lihat benda biadab yang hampir membunuh Rafael
suami ku” Jerit batinku sehingga ku melamun
“Ma’af ibu tidak papa ?, sekali lagi saya bertanya apakah ibu mau membawa
kanker ini pulang ?” Tanya dokter membuyarkan lamunanku
“Oh tidak dok terimakasih” Jawabku spontan.
Akupun pulang dengan penuh
kebahagiaan karena aku tau Rafael sang suami tercintaku susah bersih dari
penyakit kankernya sampai saat ini. Apalagi ku lihat penderita kanker orang
lain yang lebih parah dari Rafael, sampai ada mahasiswa yang meninggal dunia
karena menderita penyakit kanker yang sama persis dengan kanker yang pernah di
derita oleh Rafael. Kebahagiaanku kini telah kembali lagi.
~*~ Selesai ~*~
Jangan Lupa Comment yah readers dan jangan lupa follow twitter ku yah @ks_rizcha :-)
#thanksBefaore